Kamis, 22 April 2010
Makna Hari Kartini
Wanita pada dasarnya mempunyai hak yang sama dengan pria dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan hal itu telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sejak tahun 1984, Indonesia melalui undang-undang No. 7/1984 juga telah meratifikasi konvensi mengenai Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita yang diputuskan pada berlangsungnya Konvensi Pertengahan dasawarsa Wanita Sedunia di Kopenhagen.
Bahkan dalam tingkat internasional, persamaan hak bagi pria dan wanita merupakan prisnsip dasar Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), yang dituangkan dalam Preambule Piagam PBB degan resolusi nomor 3520, yang diproklamirkan tahun 1976-1985, sebagai dasawarsa PBB untuk wanita, dengan tema-tema: persamaan, pembangunan dan perdamian. Penegasan kembali kepercayaan pada hak azasi manusia serta harkat dan martabat setiap orang sebagi pribadi maupun pada persamaan hak anatara pria dan wanita.
Akan tetapi di Indonesia, pada kenyataannya masih banyak wanita yang mendapat perlakuan beda dalam bentuk diskriminasi baik pekerjaan maupun perlakuan. Masyarakat Indonesia secara kultural masih mempercayakan perbedaan gender antara pria dan wanita. Hal inilah yang menyebabkan diskriminasi terhadap wanita tidak pernah berakhir meskipun secara umum, wanita Indonesia telah mencapai taraf kemajuan di berbagai bidang.
Konsep gender
Dalam membicarakan gender kita harus membedakan konsep gender dengan konsep seks (jenis kelamin). Penafsiaran jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis. Misalnya pria adalah manusia yang memiliki penis, jakun dan memproduksi sperma. Sementara perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim, memiliki vagina dan memproduksi telur. Artinya, secara biologis alat-alat tersebut tidak dapat dipertukarkan atau dengan kata lain bersifat permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan hukum atau kodrat.
Sedangkan istilah gender, yaitu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan, yang dibentuk secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan itu lemah, emosional dan bersifat manja. Sedangkan pria dianggap kuat, rasional dan tegar. Ciri dan sifat seperti itu sebenarnya dapat dipertukarkan. Tentu saja ada pria yang bersifat lemah atau wanita yang bersifat kuat.
Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan pria serta bisa berubah berdasarkan waktu maupun tempat yang berbeda, itulah yang dikenal dengan konsep gender. Manifestasi gender pada posisi perempuan mengakibatkan lahirnya sifat dan sterotip yang sebetulnya merupakan kontruksi ataupun rekayasa sosial dan akhirnya terkukuhkan menjadi kodart kultural, dalam proses yang panjang akhirnya telah mengakibatkan terkondisikannya beberapa posisi perempuan yaitu (J. Kartini Soedjendro);
Pertama, perbedaan dan pembagian gender yang mengkibatkan termanifetasikan dalam posisi subordinasi kaum perempuan di hadapan kaum laki-laki.
Kedua, secara ekonomis, perbedaan dan pembagian gender juga melahirkan proses marginalisasi perempuan. Proses marginalisasi perempuan terjadi dalam kultur, birokrasi maupun dalam program-program pembangunan.
Ketiga, perbedaan dan pembagian gender juga membentuk penandaan atau sterotip terhadap kaum perempuan yang berakibat pada penindasan terhadap mereka stereotype merupakan suatu bentuk penindasan ideologi dan kultural, yakni pemberian label yang memojokkan kaum perempuan sehingga mengakibatkan posisi dan kondisi kaum perempuan tidak terpercaya.
Keempat, perbedaan dan pembagian gender juga membuat kaum perempuan bekerja dengan lebih memeras keringat jauh lebih panjang. Pada kenyataannya hampir 90% pekerjaan domestik dikerjakan oleh perempuan.
Kelima, perbedaan gender tersebut juga melahirkan kekerasan dan penyiksaan terhadap kaum perempuan secara fisik maupun secara mental. Keragaman bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan terjadi karena perbedaan gender muncul dari berbagai bentuk.
Keenam, perbedaan dan pembagian gender dengan segenap manifestasinya di atas, mengkibatkan tersosialisasinya citra, posisi, kodrat dan penerimanan nasib perempuan yang ada. Dengan kata lain, segenap manifestasi ketidakadilan itu sendiri juga merupakan proses penjinakan peran gender perempuan, sehingga kaum perempuan sendiri juga menganggap bahwa kondisi dan posisi yang ada seperti sekarang ini sebagai sesuatu yang normal.
Pada bulan April ini tepatnya pada tanggal 21 April masyarakat Indonesia khususnya kaum perempuan, akan memperingati kembali hari Kartini. Sebagai tokoh Pahlawan Nasional, Kartini mengilhami banyak perempuan di Indonesia. Ia adalah seorang wanita yang berkarakter, berjiwa bebeas, berpendidikan dan berkeinginan memajukan kaumnya atau yang dikenal dengan “emansipasi wanita”. Kartini telah merintis jalan bagi kaum perempuan di Indonesia untuk maju, untuk tidak terkungkung dalam kolotnya tradisi tetapi tanpa meninggalkan kodratnya sebagai wanita.
Oleh karena itulah, ditengah maraknya diskriminasi kaum perempuan, masyarakat harus mengingat kembali pendapat Charles Forrier yang dikutip oleh Bung Karno bahwa “Tinggi rendahnya tingkat kemajuan mata masyarakat adalah ditetapkan oleh tinggi rendahnya tingkat kedudukan perempuan di dalam masyarakat”. Konsep kemitraan sejajar antara pria dan wanita tentu harus diterapkan dalam masyarakat. Jangan ada lagi kondisi yang menempatkan wanita selalu mendapatkan tempat sesudah pria. Melalui pengkhayatan hari Kartini, bangsa ini harus dapat menghapus semua tindakan diskriminatif terhadap perempuan. Kaum perempuan harus terus berjuang untuk mendapatkan keadilan, seperti ucapan kartini: “Manakala aku akan menang, aku harus berjuang. Manakala aku akan mendapat, aku harus mencari, manakala tiada berjuang, tiada menang. Biar menang, aku harus berjuang."
Sabtu, 17 April 2010
Gelora Bung Karno (pernah) Menjadi Terhebat di Dunia
Mayoritas rakyat Indonesia tentu mengetahui Stadion utama Senayan atau yang sekarang bernama Gelora Bung Karno (GBK). Sebuah tempat yang sering digunakan untuk berbagai acara seperti konser musik, peringatan hari besar nasional dan juga tempat berkampanye. Stadion terbesar di Indonesia (bahkan se-Asia)ini memiliki sejarah yang panjang. Berawal dari pembangunannya yang syarat dengan kepentingan politis pada era Demokrasi Terpimpin.
Kita sering melihat bahwa atap GBK tertutup secara keseluruhan membentuk seperti oval. Pada tahun 1960-an, Stadion yang memiliki atap seperti itu tidak ada duanya di dunia. Hebatnya ketika itu, kita sebagai sebuah negara yang belum lama merdeka dan di tengah kondisi politik serta ekonomi yang tidak stabil.
Tahukah sahabat, bahwa dalam pembuatan stadion utama, Soekarno berperan sangat besar. Beliau memberikan gagasan untuk merealisasikan konsep konstruksi atap yang disebutnya “temu gelang”. Konsep tersebut tidak terlepas dari pemikiran politiknya yang ingin menunjukan kehebatan bangsa Indonesia. Menurut Soekarno, Stadion Senayan dapat mengobarkan rasa kebanggaan di dada seluruh rakyat Indoneia, karena rasa kebanggaan nasional merupakan syarat mutlak dalam pembinaan suatu bangsa baru yang kuat dan jaya.
Berikut ini kutipan pidato Soekarno:
Saya memerintahkan kepada arsitek-arsitek Uni Soviet, bikinkan atap temu gelang daripada mainstadium yang tidak ada di lain tempat di seluruh dunia. Bikin seperti itu. Meskipun mereka tetap berkata, yah tidak mungkin Pak. Tidak biasa, tidak lazim, tidak galib, kok ada stadion atapnya temu gelang, di mana-mana atapnya ya sebagian saja. Tidak, saya katakan sekali lagi, tidak. Atap stadion kita harus temu gelang.Tidak lain dan tidak bukan oleh karena saya ingin Indonesia kita ini bisa tampil secara luar biasa. Kecuali praktis juga ada gunanya, supaya penonton terhindar dari teriknya matahari. Sehingga ikut mengangkat nama Indonesia. Dan sekarang ini terbukti benar saudara-saudara, di mana-mana model atap stadion temu gelang dikagumi oleh seluruh dunia. Bahwa Indonesia mempunyai satu-satunya main stadium yang atapnya temu gelang. Sehingga benar-benar memukau kepada siapa saja yang melihatnya.”
Akhirnya setelah kurang lebih 4 tahun pekerjaan (1958-1962) Stadion yang sangat membanggakan ini dapat diselesaikan pembangunannya. Bahkan surat kabar asing memberikan berita yang positif, contohnya, Wartawan harian Philipina Herald, Lachita dalam tulisannya yang berjudul ‘Penilaian para Ahli: Kompleks Asian Games di Jakarta Salah Satu yang Terbaik di Dunia’, mengatakan bahwa Stadion utama Senayan dinilai lebih baik daripada stadion di Melbourne, Tokyo, Roma, Berlin dan Wembley. Khusus landasan sintel (sintelban) memiliki garis batas yang lebih lebar dari kebanyakan sintelban di Asia. Permukaan sintelban yang beraspal pasir dan tanah liat diniliai sangat sempurna. “Pers Pilipina tentang projek AG: Terbaik & Teristimewa diseluruh dunia”
Dari penjelasan di atas, sudah seharusnya kita bangga akan karya monumental dan sangat bersejarah tersebut. Maka sungguh ironis, ketika ada berita GBK akan digadai oleh pemerintah kepada pihak asing. Bagaimana olahraga kita mau maju, jika stadion kebanggan kita saja dianggap tidak penting. hufft...
Sumber:
“Doa Restu PJM Presiden Sukarno kepada para Anggota Training Centre Asian Games IV, Halaman Tengah Istana Negara dan Istana Merdeka, Jakarta, 22 Agustus 1962”, ANRI, Pidato Kepresidenan, No. 414.
Majalah Aneka, 28 Juli 1962.
Suara Merdeka, 23 Juli 1962
Yuke Ardhita, “Arsitektur, Tata Ruang Kota, Interior dan Kria Sumbangan Soekarno di Indonesia 1926-1965, Sebuah Kajian Metalite Arsitek Seorang Negarawan” (Disertasi pada Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004)
Jumat, 16 April 2010
ANALISIS KITAB PARARATON
Penulisan sejarah atau historiografi dari waktu ke waktu selalu berbeda. Seorang yang menuliskan sejarah pasti dipengaruhi oleh jiwa jaman pada masanya atau disebut “zeitgeist”. Selain itu ada beberapa faktor yang juga ikut mempengaruhi historiografi, antara lain faktor sosial-politik, sosial-ekonomi dan sosial-budaya.Menurut Sartono Kartodirdjo, di dalam historiografi Indonesia terdapat tiga tahap perkembangannya, yaitu tahap tradisional, tahap kolonial, dan tahap modern. Ketiganya mempunyai ciri-ciri tersendiri. Tiga tahap historiografi di Indonesia tersebut sebaiknya kita pahami untuk memeperoleh pengetahuan tentang arah atau kecenderungan pemikiran dan penulisan tentang masa lampau sehingga kita bisa merekontruksi Sejarah Indonesia.
Tahapan historiografi Indonesia yang paling awal yaitu historiografi tradisonal, contohnya seperti Babad, Hikayat, Silsilah atau kronik. Historiografi pada tahap ini mengadung unsur-unsur seperti mitos, legenda, magis dan ramalan, tetapi juga terdapat fakta sejarah. Fakta sejarah inilah yang perlu kita cari untuk merekonstruksi cerita yang sebenarnya. Tentu saja hal ini memerlukan penelitian serta interpertasi yang tidak mudah.
Salah satu historiografi Indonesia pada tahap tradisional adalah Pararaton yang ditulis pada akhir abad ke XV, dalam bentuk prosa (gancaran). (Poesponegoro, 1993:397) Pararaton adalah satu-satunya karya tentang sejarah Singasari dan Majapahit yang benar-benar dimaksudkan sebagai karya sejarah. Namun uraiannya dibatasi sampai kepada para raja di Singasari dan Majapahit saja (raja-sentris). Tidak menyajikan uraian tentang apa yang terjadi di luar istana raja. Pararaton menyajikan uraian tentang alur keluarga para raja, tanggal wafatnya masing-masing dan tempat candi makamnya, serta disana sini ditambah dengan kisah pribadi para pelaku dan raja yang bersangkutan. (Slamet Muljana, 1983: 35-36) Selain itu, tentu saja Pararaton yang termasuk historiografi tradisional banyak terkandung unsur-unsur yang menurut Sartono adalah unsur religio-magis dan kosmogonis yang berdasarkan dari ajaran agama Hindu-Budha yang berkembang pada waktu itu.
UNSUR RELIGIO-MAGIS
Dalam lingkungan sosio-kultural dari historiografi tradisional contohnya Pararaton ini, ada kekuatan religio-magis yang menggerakan sejarah. Unsur-unsur ini dipengaruhi oleh alam pikir masyarakat pada waktu itu yang menganut agama Hindu dan Budha, diantaranya:
1) Kelahiran Ken Arok
Menurut Kitab Pararaton Ken Arok adalah penjelmaan kembali seorang yang pada waktu hidupnya di dunia merupakan seorang yang bertingkah laku tidak baik, tetapi karena ia sanggup dijadikan korban untuk dewa penjaga pintu, maka ia dapat kembali ke Wisnubhawana. Dengan tujuan setelah hidup kembali di dunia supaya menjadi orang yang lebih baik. Dari sini dapat dilihat adanya doktrin utama Hinduisme, yaitu bahwa manusia dapat berkumpul kembali dengan brahmana, setelah mencapai kesempurnaan hidup. Sebelum itu, tiap kali ia akan kembali ke dunia. Rangkaian hidup-mati berulang kali, yang perlu dijalani untuk mencapai kesempurnaan itu dalam agama Hindu disebut samsara.
Ken Arok dikatakan adalah sebagai putra Bhatara Brahma dengan Ken Endok akibat persetubuhan Dewa Brahma. Di sini dimaksudkan memberikan cerita bahwa walaupun Ken Arok lahir dari ibu yang hanya sebagai petani, tetapi mengaitkan dengan Dewa Brahma, sebagai dewa tertunggi pencipta semesta alam dalam mitologi Hindu. Hal ini akan berkaitan dengan cerita kehidupannya Ken Arok di dunia.
Ketika menjadi bayi, ken Arok telah menunjukan keistemawaan, karena tubuhnya Ken Arok yang diceritakan dapat mengeluarkan sinar. Inilah yang menyebabkan seorang pencuri bernama Lembong mengambil Ken Arok menjadi anak, karena melihat sinar cahaya dari dirinya ketika bayi. Dapat dijelaskan bahwa sinar yang dalam bahasa Sansekerta Prabha diisyaratkan sebagai lambang keluhuran budi, kesucian jiwa dan kemurnian hati orang yang bersangkutan. (Muljana, hal 43-44)
2) Peranan Dewa Siwa
Untuk menunjukan kebesarannya, Ken Arok juga disebutkan sebagai titisan dari Dewa Wisnu. Dalam kitab Pararaton dijelaskan bahwa ada seorang Brahmana dari India datang ke Pulau Jawa untuk mencari Dewa Wisnu yang menjelma sebagai seseorang di Pulau Jawa, yang bernama Ken Arok.
Dalam mitologi Hindu, Dewa Wisnu dianggap sebagai penyelamat dunia. Dalam cerita ini, Ken Arok sebagai titisan Dewa Wisnu mempunyai tugas untuk menyinarkan bahaya yang mengancam kelestarian Pulau Jawa. Yang dimaksud dengan bahaya adalah Raja Kertajaya di Kediri. Sebelum berhasil, maka tugas Ken Arok di dunia belum selesai. Dewa Wisnu tidak pernah gagal dalam menunaikan tugasnya. Demikianlah Ken Arok akan selalu dibantu oleh para Dewa sebelum dapat menyelesaikan tugasnya. Hal ini dapat dilihat dalam Pararaton, yaitu ketika Ken Arok dalam keadaan yang membahayakan jiwanya, seperti ketika dikejar oleh orang-orang desa, Ken Arok dapat mengatasinya dan berhasil lolos. (Muljana, hal. 45) Selain itu untuk melegitimasikan Ken Arok sebagai seorang raja yang diberkahi para Dewa, maka diceritakan bahwa Ken Arok merupakan orang yang terpilih dari musyawarah para Dewa di Gunung Lejar. Ken Arok dipilih karena ia memang seorang putra dari Bhatara Guru atau putra Bhatara Siwa.
3) Ken Dedes Sebagai Ardhanareswari
Setelah brahmana Lohgawe bertemu dengan Ken Arok, kemudian Ken Arok di bawa ke Tumapel untuk dipertemukan dengan akuwu Tunggul Ametung dan dapat diterima sebagai pembantunya. Selanjutnya diceritakan bahwa Tunggul Ametung mempunyai istri yang sangat cantik bernama Ken Dedes. Ken Dedes diceritakan sebagai putri dari pendeta di Panawijen yang bergelar Mpu Purwa. Kecuali cantik, Ken Dedes juga seorang wanita susila yang telah matang dalam ilmu, karena telah mempelajari karma amamadangi yaitu laku utama yang menuntun ke kesempurnaan yang diturunkan oleh ayahnya.
Diceritakan bahwa, Ken Arok jatuh cinta kepada Ken Dedes di taman Baboji setelah ia melihat Ken Dedes turun dari kereta dan betisnya mengeluarkan cahaya. Kemudian Ken Arok menanyakan kepada brahmana Lohgawe dan menurutnya, seorang wanita yang rahasianya menyala adalah seorang wanita yang sangat utama, namanya ardhanareswari. Ia adalah wanita bertuah yang akan membawa bahagia, siapapun yang memperistrinya, akan menjadi raja besar.
Dalam mitologi Hindu para Dewa masing-masing mempunyai istri, termasuk Bhatara Siwa mempunyai istri Dewi Parwati. Dalam perkawinannya dengan Dewa Siwa, Dewa Parwati disebut ardhanareswari. Oleh karena dalam Pararaton Ken Dedes disebut ardhanareswari, maka Ken Dedes disamakan dengan Dewi Parwati. Sedangkan Ken Arok seperti yang sudah dijelaskan di atas adalah sebagai titisn Dewa Wisnu, maka sudah selayaknyalah Ken Dedes dan Ken Arok menjadi suami istri.
5) Kepercayaan terhadap kutukan/umpatan
Dalam Pararaton terdapat beberapa cerita yang mengisahkan seorang tokoh mengutuk atau mengumpat, antara lain ketika Mpu Purwa ayah dari Ken Dedes yang mengutuk Tunggul Ametung setelah menculik anaknya, dalam Pararaton sebagai berikut: “ semoga yang melarikan anakku tidak lanjut mengenyam kenikmatan, semoga ia ditusuk keris dan diambil istrinya,….” Ternyata pada kisah berikutnya umpatan tersebut menjadi kenyataan, yaitu ketika Tunggul Ametung tewas ditusuk keris buatan Mpu Gandring oleh Ken Arok.
Selain itu umpatan juga di berikan kepada Ken Arok oleh Mpu Gandring, yaitu:
“buyung Arok, kelak kamu akan mati oleh keris itu, anak-cucumu akan mati karena keris itu juga”, Mpu Gandring yang sedang sekarat menjatuhkan umpat kepada Ken Arok, bahwa ia juga akan mati karena tusukan keris Gandring itu, bahkan tidak hanya Ken Arok, tetapi juga keturunannya akan mengalami hal yang sama. Dalam Pararaton memang terdapat uraian tentang kematian Anusapati anak Ken Dedes dari Tunggul Ametung yang menjadi raja kedua dan Nararya Tohjaya anak Ken Arok dari Ken Umang yang menjadi raja ketiga akibat tusukan keris Gandring.
Hal tersebut ditafsirkan sebagai terkabulnya umpat Mpu Gandring. Umpat yang dijatuhkan seseorang yang sakti, seorang raja atau orang tua kepada anaknya. Kepercayaan kepada umpat dalam masyarakat Jawa tidak hanya terdapat dalam berbagai bentuk dongeng dalan sastra Jawa, tetapi saat ini juga benar-benar masih dirasakan. (Muljana, hal. 58-59)
UNSUR KOSMOGONIS
Unsur kosmogonis yaitu unsur-unsur yang berkaitan dengan kekuatan alam. Penulisan Pararaton juga tidak terlepas dari unsur ini, yang terlihat pada konsep berulang-ulang atau setengah siklis dalam urutan kejadian-kejadian.
1) Konsep Gunung
Unsur kosmogonis pada kitab Pararaton dapat ditunjukan pada uraian tentang permusyawarahan para dewa di Gunung Lejar. Gunung dalam mitologi Hindu juga dianggap sebagai tempat yang suci dan merupakan tempat kediaman para dewa. Gunung-gunung di Pulau Jawa didentifikasikan sebagai ceceran dari Gunung Mahameru yang berada di Jambudwipa (India) yang akan dipindahkan ke Yawadipa (Jawa). Gunung Mahameru itu berada di pusat pulau maha besar yang disebut Jambudwipa (India), sedangkan keseluruhan kosmos terdiri dari tujuh Dwipa (pulau), yang masing-masing dikelilingi oleh lautan yang luas.(Edi Sedyawati, 1993: 45)
Penggambaran para dewa yang terletak di gunung itu juga menggambarkan alam kehidupan dalam kosmologi Hindu. Secara vertikal, alam kehidupan dalam kosmologi dibagi tiga, yang teratas disebut swarloka atau swarga, yaitu tempat dewa-dewa serta para pendamping dan pengiringnya. Bagian tengah disebut bhuwarloka, yaitu tempat manusia hidup. Adapun yang terbawah disebut bhurloka.
2) Bencana Alam
Unsur kosmologi di dalam Pararaton juga sering kita temukan, yaitu ketika menerangkan kejadian alam seperti gunung meletus, gempa bumi hingga masa kekurangan pangan. Ada sekitar lima letusan gunung yang diceritakan pada masa Kerajaan Majapahit. Bencana alam tersebut dipercaya sebagai tanda akan terjadinya pralaya. Inilah yang menyebabkan beberapa raja memindahkan pusat kerajaannnya.
Pandangan kosmogoni Hindu menyatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dan dihancurkan secara berkala. Setiap zaman yang berlangsung berjuta-juta tahun, diawali dengan penciptaan (srsti), kemudian menyusul tahap pemeliharaan (stihiti) dan diakhiri dengan penghancuran kembali (pralina/pralaya). Ketiga tahap tersebut merupakan tugas masing-masing dari dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa. Demikian juga dengan sebuah kerajaan, dipercaya juga mengalami proses seperti itu. Pada setiap keberadaan dunia dan juga kerajaan itu, pada tahap pemeliharaan dibagi lagi ke dalam 4 zaman besar yang disebut yuga, yaitu:
1. Kertyuga (zaman emas). Dalam zaman ini tidak ada kejahatan sama sekali. Maka manusia tidak memerlukan kitab suci.
2. Tretayuga (zaman perak), manusia sudah kenal baik dan buruk. Maka manusia memerlukan sebuah kitab suci (weda) sebagai bimbingan dan pegangan hidup.
3. Dwarapuga (zaman perunggu). Kejahatan meningkat, oleh karena itu manusia memerlukan dua buah kitab suci weda untuk memimpinnya ke arah kebaikan.
4. Kaliyuga (zaman besi). Pada zaman ini, kejahatan semakin meningkat dan semakin lama semakin hebat. Manusia diberi tiga buah kitab weda untuk dapat mengekang diri, agar jangan sampai terjerumus ke dalam kejahatan.
3) Struktur Pemerintahan dan Gelar Raja
Dari uraian Pararaton mengenai pemerintahan Kerajaan Majapahit, seperti raja, raja daerah (bhre), patih, menteri, disebutkan pula adanya golongan darmaputra-radja, jabatan demang dan temenggung. Struktur pemerintahan Kerajaan Majapahit yang bersifat territorial dan desentralisasi ini dipengaruhi juga oleh kepercayaan yang bersifat kosmogonis. Berdasarkan konsep ini maka seluruh kerajaan dianggap sebagai replika dari jagad raya, dan raja Majapahit disamakan dengan dewa tertinggi yang bersemayam di puncak Mahemeru. Wilayah Kerajaan Majapahit yang terdiri atas negara-negara daerah juga disamakan dengan tempat tinggal para dewa lokapala (dewa penjaga arah mata angin) yang terletak di keempat penjuru mata angin. Unsur kosmologi, juga dapat kita lihat dari pemberian nama atau gelar raja. Salah satunya yang terdapat pada kitab Pararaton, yaitu Baginda Wirabumi. Wirabumi berasal darikata Wira/perwira yang artinya pahlawan/ksatria yang gagah berani dan bumi yang artinya dunia. Jadi dapat diartikan Wirabumi itu sebagai Pahlawan yang gagah dan berani di dunia.
FAKTA SEJARAH
Kitab Pararaton menurut Soekmono, sangat kurang dapat dipercaya. Hal ini dikarenakan isinya lebih bersifat dongeng. Mula-mula diuraikan riwayat Ken Arok yang penuh kegaiban, hingga raja-raja yang berkuasa di Singasari dan Majaphit dengan disertai angka tahun yang tidak cocok.(Soekmono, 1973:120) Tetapai bagaimanapun juga, Pararaton mempunyai fakta sejarah yang tentu saja tidak dapat berdiri sendiri. Maksudnya adalah, Pararaton sebagai sumber sejarah tradisional, juga harus diperkuat oleh beberapa sumber sejarah lainnya, seperti kitab Negarakertagama, dan prasasti-prasasti yang bersangkutan. Beberapa fakta sejarah yang ada dalam Pararaton, antara lain:
1) Tentang nama-nama tokoh
Contohnya saja tokoh Anusapati. Menurut Negarakretagama maupun Pararaton menyatakan bahwa Sang Anusapati menjadi raja di Tumapel sepeninggal Raja Rajasa (Ken Arok) pada tahun 1248. Selain itu adanya candi makam di Kidal merupakan bukti nyata bahwa Sang Anusapti memang tokoh sejarah, karena dalam Pararaton diceritakan bahwa setelah wafat, Sang Anusapati dicandikan di Candi Kidal.
Selain itu tokoh Nararya Tohjaya juga merupakan sebuah fakta sejarah tentang seorang raja di Tumapel sesudah masa pemerintahan Sang Anusapati. Sebelumnya tokoh ini hanya dikenal dari pernyataan Pararaton, namun di dalam prasasti Mula-Malurung maka kesejarahan tokoh Tohjaya dapat ditetapkan. Selain itu hampir semua tokoh-tokoh sejarah di sekeliling Nararya Tohjaya yang disebutkan dalam Pararaton ditemukan juga pada prasasti Mula-Malurung seperti Pranaraja, Panji Patipati, Ranggawuni.
Pararaton juga mengatakan bahwa Mahisa Cempaka yang kemudian mengambil nama Narasinga diangkat sebagai ratu angabhaya (wakil raja). Hal ini juga merupakan fakta sejarah, karena pernyataan itu juga diperkuat oleh prasasti Penampihan, bertarikh 31 Oktober 1269, karena prasasti menyebut nama Narasingamurti sebagai penguasa yang tertinggi di negara Tumapel.(Muljana: 83)
2) Tentang peristiwa penting
Banyak sekali peristiwa penting dalam Pararaton yang menjadi fakta sejarah walaupun tariknya banyak yang berbeda dari sumber yang lain. Tetapi paling tidak penyebutan atau nama dari peristiwa tersebut sama dengan sumber yang lain. Karena Pararaton bersifat raja-sentris dan istana-sentris, maka peristiwa itu berkaitan dengan munculnya suatu kerajaan, naik pangkat serta wafatnya raja-raja, dan silsilah para raja.
Selain itu juga terdapat beberapa peristiwa yang lainnya, diantaranya mengenai ekspedisi militer ke Malayu yang dilancarkan oleh Sri Kertanagara pada tahun 1275. pernyataan ini didukung oleh Negarakretagama pupuh XLI/5 yang menyatakan bahwa alasan pengiriman ekspedisi militer ke Negeri Malayu pertamanya dimaksudkan untuk menakut-nakuti penguasa Negeri Malayu agar mau tunduk secara damai, tanpa melalui perang. Peristiwa tersebut juga didukung beberapa prasasti, diantaranya prasasti Amoghapasa yang dikeluarkan oleh Sri Kertanagara pada tanggal 22 Agustus 1286 dan ditujukan kepada Raja Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa di Suwarnabhumi (Malayu). Diceritakan bahwa ekspedisi militer ke Suwarnabhumi tersebut berhasil dengan gemilang. (Muljana: 93)
Pararaton menyajikan uraian panjang tentang perang antara tentara Tumapel di bawah pimpinan Raden Wijaya (Nararya Sanggramawijaya) dengan tentara Gelang-Gelang yang datang dari jurusan utara. Pada peristiwa itu, diceritakan bagaimana Raden Wijaya harus keluar masuk hutan dan sampai di rumah kepala desa Pandakan untuk beristirahat dan melanjutkan perjalanan ke Madura untuk meminta bantuan kepada Adipati Wirarja di Sumenep.
Pandakan terletak di sebelah barat daya Bangil di seberang selatan Sungai Porong. Di lereng Gunung Butak di Kabupaten Majakerta di temukan lempengan tembaga berisi prasasti bertarikh 11 September 1294, terkenal dengan prasasti Kudadu tentang anugrah tanah Kudadu kepada kepala desa Kudadu atas jasanya kepada Raden Wijaya dalam perjalanan ke Madura.(Muljana: 110)
3) Tentang letak suatu tempat
Pararaton mengisahkan bahwa Raden Wijaya setelah mengabdi kepada Raja Jayakatwang di Kediri, atas nasihat Aria Wiraraja meminta untuk membuka hutan Tarik, yang nantinya akan berkembang menjadi kerajaan Majapahit. Pararaton juga menceritakan sangat jelas tentang asal-usul nama kerajaan Majapahit dan juga letaknya. Nama Majapahit berasal dari kata buah maja yang rasanya pahit.
Saat ini di sepanjang lembah Sungai Brantas masih banyak ditemukan pohon maja. Di sepanjang lembag Sungai Brantas juga ditemukan berbagai tempat dengan nama maja seperti: Majasari, Majawarna, Majakerta, Majajejer dan Majaagung. Majapahit terletak di sebelah selatan Trawulan, di sebelah kanan jalan Majagung-Majakerta. Pernyataan tersebut didukung dengan ditemukannya berbagai macam peninggalan arkeologi, seperti candi, pertirtaan, pintu gerbang dan juga berbagai artefak. Saat ini, letak pusat Kerajaan Majapahit dijadikan sebuah situs yang disebut dengan situs Trowulan yang tberada dalam wilayah administrasi kecamatan Trowulan dan Kecamatan Sooko kabupaten Mojokerto.
Letak candi sebagai tempat pemujaan setelah seorang raja wafat juga dapat kita temukan dalam Pararaton. Antara lain candi Kidal, candi Jago dan candi Singasari sampai saat in masih berdiri tegak, dan itu merupakan sebuah fakta sejarah yang tidak dapat kita pungkiri lagi.
Tahapan historiografi Indonesia yang paling awal yaitu historiografi tradisonal, contohnya seperti Babad, Hikayat, Silsilah atau kronik. Historiografi pada tahap ini mengadung unsur-unsur seperti mitos, legenda, magis dan ramalan, tetapi juga terdapat fakta sejarah. Fakta sejarah inilah yang perlu kita cari untuk merekonstruksi cerita yang sebenarnya. Tentu saja hal ini memerlukan penelitian serta interpertasi yang tidak mudah.
Salah satu historiografi Indonesia pada tahap tradisional adalah Pararaton yang ditulis pada akhir abad ke XV, dalam bentuk prosa (gancaran). (Poesponegoro, 1993:397) Pararaton adalah satu-satunya karya tentang sejarah Singasari dan Majapahit yang benar-benar dimaksudkan sebagai karya sejarah. Namun uraiannya dibatasi sampai kepada para raja di Singasari dan Majapahit saja (raja-sentris). Tidak menyajikan uraian tentang apa yang terjadi di luar istana raja. Pararaton menyajikan uraian tentang alur keluarga para raja, tanggal wafatnya masing-masing dan tempat candi makamnya, serta disana sini ditambah dengan kisah pribadi para pelaku dan raja yang bersangkutan. (Slamet Muljana, 1983: 35-36) Selain itu, tentu saja Pararaton yang termasuk historiografi tradisional banyak terkandung unsur-unsur yang menurut Sartono adalah unsur religio-magis dan kosmogonis yang berdasarkan dari ajaran agama Hindu-Budha yang berkembang pada waktu itu.
UNSUR RELIGIO-MAGIS
Dalam lingkungan sosio-kultural dari historiografi tradisional contohnya Pararaton ini, ada kekuatan religio-magis yang menggerakan sejarah. Unsur-unsur ini dipengaruhi oleh alam pikir masyarakat pada waktu itu yang menganut agama Hindu dan Budha, diantaranya:
1) Kelahiran Ken Arok
Menurut Kitab Pararaton Ken Arok adalah penjelmaan kembali seorang yang pada waktu hidupnya di dunia merupakan seorang yang bertingkah laku tidak baik, tetapi karena ia sanggup dijadikan korban untuk dewa penjaga pintu, maka ia dapat kembali ke Wisnubhawana. Dengan tujuan setelah hidup kembali di dunia supaya menjadi orang yang lebih baik. Dari sini dapat dilihat adanya doktrin utama Hinduisme, yaitu bahwa manusia dapat berkumpul kembali dengan brahmana, setelah mencapai kesempurnaan hidup. Sebelum itu, tiap kali ia akan kembali ke dunia. Rangkaian hidup-mati berulang kali, yang perlu dijalani untuk mencapai kesempurnaan itu dalam agama Hindu disebut samsara.
Ken Arok dikatakan adalah sebagai putra Bhatara Brahma dengan Ken Endok akibat persetubuhan Dewa Brahma. Di sini dimaksudkan memberikan cerita bahwa walaupun Ken Arok lahir dari ibu yang hanya sebagai petani, tetapi mengaitkan dengan Dewa Brahma, sebagai dewa tertunggi pencipta semesta alam dalam mitologi Hindu. Hal ini akan berkaitan dengan cerita kehidupannya Ken Arok di dunia.
Ketika menjadi bayi, ken Arok telah menunjukan keistemawaan, karena tubuhnya Ken Arok yang diceritakan dapat mengeluarkan sinar. Inilah yang menyebabkan seorang pencuri bernama Lembong mengambil Ken Arok menjadi anak, karena melihat sinar cahaya dari dirinya ketika bayi. Dapat dijelaskan bahwa sinar yang dalam bahasa Sansekerta Prabha diisyaratkan sebagai lambang keluhuran budi, kesucian jiwa dan kemurnian hati orang yang bersangkutan. (Muljana, hal 43-44)
2) Peranan Dewa Siwa
Untuk menunjukan kebesarannya, Ken Arok juga disebutkan sebagai titisan dari Dewa Wisnu. Dalam kitab Pararaton dijelaskan bahwa ada seorang Brahmana dari India datang ke Pulau Jawa untuk mencari Dewa Wisnu yang menjelma sebagai seseorang di Pulau Jawa, yang bernama Ken Arok.
Dalam mitologi Hindu, Dewa Wisnu dianggap sebagai penyelamat dunia. Dalam cerita ini, Ken Arok sebagai titisan Dewa Wisnu mempunyai tugas untuk menyinarkan bahaya yang mengancam kelestarian Pulau Jawa. Yang dimaksud dengan bahaya adalah Raja Kertajaya di Kediri. Sebelum berhasil, maka tugas Ken Arok di dunia belum selesai. Dewa Wisnu tidak pernah gagal dalam menunaikan tugasnya. Demikianlah Ken Arok akan selalu dibantu oleh para Dewa sebelum dapat menyelesaikan tugasnya. Hal ini dapat dilihat dalam Pararaton, yaitu ketika Ken Arok dalam keadaan yang membahayakan jiwanya, seperti ketika dikejar oleh orang-orang desa, Ken Arok dapat mengatasinya dan berhasil lolos. (Muljana, hal. 45) Selain itu untuk melegitimasikan Ken Arok sebagai seorang raja yang diberkahi para Dewa, maka diceritakan bahwa Ken Arok merupakan orang yang terpilih dari musyawarah para Dewa di Gunung Lejar. Ken Arok dipilih karena ia memang seorang putra dari Bhatara Guru atau putra Bhatara Siwa.
3) Ken Dedes Sebagai Ardhanareswari
Setelah brahmana Lohgawe bertemu dengan Ken Arok, kemudian Ken Arok di bawa ke Tumapel untuk dipertemukan dengan akuwu Tunggul Ametung dan dapat diterima sebagai pembantunya. Selanjutnya diceritakan bahwa Tunggul Ametung mempunyai istri yang sangat cantik bernama Ken Dedes. Ken Dedes diceritakan sebagai putri dari pendeta di Panawijen yang bergelar Mpu Purwa. Kecuali cantik, Ken Dedes juga seorang wanita susila yang telah matang dalam ilmu, karena telah mempelajari karma amamadangi yaitu laku utama yang menuntun ke kesempurnaan yang diturunkan oleh ayahnya.
Diceritakan bahwa, Ken Arok jatuh cinta kepada Ken Dedes di taman Baboji setelah ia melihat Ken Dedes turun dari kereta dan betisnya mengeluarkan cahaya. Kemudian Ken Arok menanyakan kepada brahmana Lohgawe dan menurutnya, seorang wanita yang rahasianya menyala adalah seorang wanita yang sangat utama, namanya ardhanareswari. Ia adalah wanita bertuah yang akan membawa bahagia, siapapun yang memperistrinya, akan menjadi raja besar.
Dalam mitologi Hindu para Dewa masing-masing mempunyai istri, termasuk Bhatara Siwa mempunyai istri Dewi Parwati. Dalam perkawinannya dengan Dewa Siwa, Dewa Parwati disebut ardhanareswari. Oleh karena dalam Pararaton Ken Dedes disebut ardhanareswari, maka Ken Dedes disamakan dengan Dewi Parwati. Sedangkan Ken Arok seperti yang sudah dijelaskan di atas adalah sebagai titisn Dewa Wisnu, maka sudah selayaknyalah Ken Dedes dan Ken Arok menjadi suami istri.
5) Kepercayaan terhadap kutukan/umpatan
Dalam Pararaton terdapat beberapa cerita yang mengisahkan seorang tokoh mengutuk atau mengumpat, antara lain ketika Mpu Purwa ayah dari Ken Dedes yang mengutuk Tunggul Ametung setelah menculik anaknya, dalam Pararaton sebagai berikut: “ semoga yang melarikan anakku tidak lanjut mengenyam kenikmatan, semoga ia ditusuk keris dan diambil istrinya,….” Ternyata pada kisah berikutnya umpatan tersebut menjadi kenyataan, yaitu ketika Tunggul Ametung tewas ditusuk keris buatan Mpu Gandring oleh Ken Arok.
Selain itu umpatan juga di berikan kepada Ken Arok oleh Mpu Gandring, yaitu:
“buyung Arok, kelak kamu akan mati oleh keris itu, anak-cucumu akan mati karena keris itu juga”, Mpu Gandring yang sedang sekarat menjatuhkan umpat kepada Ken Arok, bahwa ia juga akan mati karena tusukan keris Gandring itu, bahkan tidak hanya Ken Arok, tetapi juga keturunannya akan mengalami hal yang sama. Dalam Pararaton memang terdapat uraian tentang kematian Anusapati anak Ken Dedes dari Tunggul Ametung yang menjadi raja kedua dan Nararya Tohjaya anak Ken Arok dari Ken Umang yang menjadi raja ketiga akibat tusukan keris Gandring.
Hal tersebut ditafsirkan sebagai terkabulnya umpat Mpu Gandring. Umpat yang dijatuhkan seseorang yang sakti, seorang raja atau orang tua kepada anaknya. Kepercayaan kepada umpat dalam masyarakat Jawa tidak hanya terdapat dalam berbagai bentuk dongeng dalan sastra Jawa, tetapi saat ini juga benar-benar masih dirasakan. (Muljana, hal. 58-59)
UNSUR KOSMOGONIS
Unsur kosmogonis yaitu unsur-unsur yang berkaitan dengan kekuatan alam. Penulisan Pararaton juga tidak terlepas dari unsur ini, yang terlihat pada konsep berulang-ulang atau setengah siklis dalam urutan kejadian-kejadian.
1) Konsep Gunung
Unsur kosmogonis pada kitab Pararaton dapat ditunjukan pada uraian tentang permusyawarahan para dewa di Gunung Lejar. Gunung dalam mitologi Hindu juga dianggap sebagai tempat yang suci dan merupakan tempat kediaman para dewa. Gunung-gunung di Pulau Jawa didentifikasikan sebagai ceceran dari Gunung Mahameru yang berada di Jambudwipa (India) yang akan dipindahkan ke Yawadipa (Jawa). Gunung Mahameru itu berada di pusat pulau maha besar yang disebut Jambudwipa (India), sedangkan keseluruhan kosmos terdiri dari tujuh Dwipa (pulau), yang masing-masing dikelilingi oleh lautan yang luas.(Edi Sedyawati, 1993: 45)
Penggambaran para dewa yang terletak di gunung itu juga menggambarkan alam kehidupan dalam kosmologi Hindu. Secara vertikal, alam kehidupan dalam kosmologi dibagi tiga, yang teratas disebut swarloka atau swarga, yaitu tempat dewa-dewa serta para pendamping dan pengiringnya. Bagian tengah disebut bhuwarloka, yaitu tempat manusia hidup. Adapun yang terbawah disebut bhurloka.
2) Bencana Alam
Unsur kosmologi di dalam Pararaton juga sering kita temukan, yaitu ketika menerangkan kejadian alam seperti gunung meletus, gempa bumi hingga masa kekurangan pangan. Ada sekitar lima letusan gunung yang diceritakan pada masa Kerajaan Majapahit. Bencana alam tersebut dipercaya sebagai tanda akan terjadinya pralaya. Inilah yang menyebabkan beberapa raja memindahkan pusat kerajaannnya.
Pandangan kosmogoni Hindu menyatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dan dihancurkan secara berkala. Setiap zaman yang berlangsung berjuta-juta tahun, diawali dengan penciptaan (srsti), kemudian menyusul tahap pemeliharaan (stihiti) dan diakhiri dengan penghancuran kembali (pralina/pralaya). Ketiga tahap tersebut merupakan tugas masing-masing dari dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa. Demikian juga dengan sebuah kerajaan, dipercaya juga mengalami proses seperti itu. Pada setiap keberadaan dunia dan juga kerajaan itu, pada tahap pemeliharaan dibagi lagi ke dalam 4 zaman besar yang disebut yuga, yaitu:
1. Kertyuga (zaman emas). Dalam zaman ini tidak ada kejahatan sama sekali. Maka manusia tidak memerlukan kitab suci.
2. Tretayuga (zaman perak), manusia sudah kenal baik dan buruk. Maka manusia memerlukan sebuah kitab suci (weda) sebagai bimbingan dan pegangan hidup.
3. Dwarapuga (zaman perunggu). Kejahatan meningkat, oleh karena itu manusia memerlukan dua buah kitab suci weda untuk memimpinnya ke arah kebaikan.
4. Kaliyuga (zaman besi). Pada zaman ini, kejahatan semakin meningkat dan semakin lama semakin hebat. Manusia diberi tiga buah kitab weda untuk dapat mengekang diri, agar jangan sampai terjerumus ke dalam kejahatan.
3) Struktur Pemerintahan dan Gelar Raja
Dari uraian Pararaton mengenai pemerintahan Kerajaan Majapahit, seperti raja, raja daerah (bhre), patih, menteri, disebutkan pula adanya golongan darmaputra-radja, jabatan demang dan temenggung. Struktur pemerintahan Kerajaan Majapahit yang bersifat territorial dan desentralisasi ini dipengaruhi juga oleh kepercayaan yang bersifat kosmogonis. Berdasarkan konsep ini maka seluruh kerajaan dianggap sebagai replika dari jagad raya, dan raja Majapahit disamakan dengan dewa tertinggi yang bersemayam di puncak Mahemeru. Wilayah Kerajaan Majapahit yang terdiri atas negara-negara daerah juga disamakan dengan tempat tinggal para dewa lokapala (dewa penjaga arah mata angin) yang terletak di keempat penjuru mata angin. Unsur kosmologi, juga dapat kita lihat dari pemberian nama atau gelar raja. Salah satunya yang terdapat pada kitab Pararaton, yaitu Baginda Wirabumi. Wirabumi berasal darikata Wira/perwira yang artinya pahlawan/ksatria yang gagah berani dan bumi yang artinya dunia. Jadi dapat diartikan Wirabumi itu sebagai Pahlawan yang gagah dan berani di dunia.
FAKTA SEJARAH
Kitab Pararaton menurut Soekmono, sangat kurang dapat dipercaya. Hal ini dikarenakan isinya lebih bersifat dongeng. Mula-mula diuraikan riwayat Ken Arok yang penuh kegaiban, hingga raja-raja yang berkuasa di Singasari dan Majaphit dengan disertai angka tahun yang tidak cocok.(Soekmono, 1973:120) Tetapai bagaimanapun juga, Pararaton mempunyai fakta sejarah yang tentu saja tidak dapat berdiri sendiri. Maksudnya adalah, Pararaton sebagai sumber sejarah tradisional, juga harus diperkuat oleh beberapa sumber sejarah lainnya, seperti kitab Negarakertagama, dan prasasti-prasasti yang bersangkutan. Beberapa fakta sejarah yang ada dalam Pararaton, antara lain:
1) Tentang nama-nama tokoh
Contohnya saja tokoh Anusapati. Menurut Negarakretagama maupun Pararaton menyatakan bahwa Sang Anusapati menjadi raja di Tumapel sepeninggal Raja Rajasa (Ken Arok) pada tahun 1248. Selain itu adanya candi makam di Kidal merupakan bukti nyata bahwa Sang Anusapti memang tokoh sejarah, karena dalam Pararaton diceritakan bahwa setelah wafat, Sang Anusapati dicandikan di Candi Kidal.
Selain itu tokoh Nararya Tohjaya juga merupakan sebuah fakta sejarah tentang seorang raja di Tumapel sesudah masa pemerintahan Sang Anusapati. Sebelumnya tokoh ini hanya dikenal dari pernyataan Pararaton, namun di dalam prasasti Mula-Malurung maka kesejarahan tokoh Tohjaya dapat ditetapkan. Selain itu hampir semua tokoh-tokoh sejarah di sekeliling Nararya Tohjaya yang disebutkan dalam Pararaton ditemukan juga pada prasasti Mula-Malurung seperti Pranaraja, Panji Patipati, Ranggawuni.
Pararaton juga mengatakan bahwa Mahisa Cempaka yang kemudian mengambil nama Narasinga diangkat sebagai ratu angabhaya (wakil raja). Hal ini juga merupakan fakta sejarah, karena pernyataan itu juga diperkuat oleh prasasti Penampihan, bertarikh 31 Oktober 1269, karena prasasti menyebut nama Narasingamurti sebagai penguasa yang tertinggi di negara Tumapel.(Muljana: 83)
2) Tentang peristiwa penting
Banyak sekali peristiwa penting dalam Pararaton yang menjadi fakta sejarah walaupun tariknya banyak yang berbeda dari sumber yang lain. Tetapi paling tidak penyebutan atau nama dari peristiwa tersebut sama dengan sumber yang lain. Karena Pararaton bersifat raja-sentris dan istana-sentris, maka peristiwa itu berkaitan dengan munculnya suatu kerajaan, naik pangkat serta wafatnya raja-raja, dan silsilah para raja.
Selain itu juga terdapat beberapa peristiwa yang lainnya, diantaranya mengenai ekspedisi militer ke Malayu yang dilancarkan oleh Sri Kertanagara pada tahun 1275. pernyataan ini didukung oleh Negarakretagama pupuh XLI/5 yang menyatakan bahwa alasan pengiriman ekspedisi militer ke Negeri Malayu pertamanya dimaksudkan untuk menakut-nakuti penguasa Negeri Malayu agar mau tunduk secara damai, tanpa melalui perang. Peristiwa tersebut juga didukung beberapa prasasti, diantaranya prasasti Amoghapasa yang dikeluarkan oleh Sri Kertanagara pada tanggal 22 Agustus 1286 dan ditujukan kepada Raja Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa di Suwarnabhumi (Malayu). Diceritakan bahwa ekspedisi militer ke Suwarnabhumi tersebut berhasil dengan gemilang. (Muljana: 93)
Pararaton menyajikan uraian panjang tentang perang antara tentara Tumapel di bawah pimpinan Raden Wijaya (Nararya Sanggramawijaya) dengan tentara Gelang-Gelang yang datang dari jurusan utara. Pada peristiwa itu, diceritakan bagaimana Raden Wijaya harus keluar masuk hutan dan sampai di rumah kepala desa Pandakan untuk beristirahat dan melanjutkan perjalanan ke Madura untuk meminta bantuan kepada Adipati Wirarja di Sumenep.
Pandakan terletak di sebelah barat daya Bangil di seberang selatan Sungai Porong. Di lereng Gunung Butak di Kabupaten Majakerta di temukan lempengan tembaga berisi prasasti bertarikh 11 September 1294, terkenal dengan prasasti Kudadu tentang anugrah tanah Kudadu kepada kepala desa Kudadu atas jasanya kepada Raden Wijaya dalam perjalanan ke Madura.(Muljana: 110)
3) Tentang letak suatu tempat
Pararaton mengisahkan bahwa Raden Wijaya setelah mengabdi kepada Raja Jayakatwang di Kediri, atas nasihat Aria Wiraraja meminta untuk membuka hutan Tarik, yang nantinya akan berkembang menjadi kerajaan Majapahit. Pararaton juga menceritakan sangat jelas tentang asal-usul nama kerajaan Majapahit dan juga letaknya. Nama Majapahit berasal dari kata buah maja yang rasanya pahit.
Saat ini di sepanjang lembah Sungai Brantas masih banyak ditemukan pohon maja. Di sepanjang lembag Sungai Brantas juga ditemukan berbagai tempat dengan nama maja seperti: Majasari, Majawarna, Majakerta, Majajejer dan Majaagung. Majapahit terletak di sebelah selatan Trawulan, di sebelah kanan jalan Majagung-Majakerta. Pernyataan tersebut didukung dengan ditemukannya berbagai macam peninggalan arkeologi, seperti candi, pertirtaan, pintu gerbang dan juga berbagai artefak. Saat ini, letak pusat Kerajaan Majapahit dijadikan sebuah situs yang disebut dengan situs Trowulan yang tberada dalam wilayah administrasi kecamatan Trowulan dan Kecamatan Sooko kabupaten Mojokerto.
Letak candi sebagai tempat pemujaan setelah seorang raja wafat juga dapat kita temukan dalam Pararaton. Antara lain candi Kidal, candi Jago dan candi Singasari sampai saat in masih berdiri tegak, dan itu merupakan sebuah fakta sejarah yang tidak dapat kita pungkiri lagi.
Rabu, 14 April 2010
Nenek Moyangku Seorang Pelaut
ket.: Relief Borobudur
Kapal Samudera Raksa
Nenek moyangku orang pelaut
Gemar mengarung luas samudra
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa
Sepenggal bait lagu tersebut tampaknya sudah biasa kita dengar. Dari lagu itu kita dapat membayangkan bahwa kita memiliki nenek moyang pelaut, yang gagah dan pemberani. Indonesia memang dikenal sebagai bangsa maritim, paling tidak karena sejak zaman dahulu penduduk di kepulauan nusantara ini dikenal sebagi pelaut dan juga karena wilayah laut Indonesia lebih luas dibandingkan wilayah daratannya.
Keberanian dan ketangguhan itu, mereka buktikan jauh sebelum Columbus menyeberangi Samudra Atlantik dan menemukan benua baru Amerika pada tahun 1492 atuau Fasco da Gama pada tahun 1498 yang mulai menjelajahi dunia timur dengan panji-panji juspatronatus yang dikeluarkan Tahta Suci pada 4 Mei 1493. Para pelaut Indonesia biasa menggunakan perahu yang tak bisa dikatakan besar. Sebagai penyeimbang, mereka memakai cadik, baik yang ganda maupun yang tunggal. Bahka kapal-kapal bercadik tunggal tak hanya untuk pelayaran antar pulau di Indonesia, tetapi untuk berlayar ke India dan Madagaskar. Dalam pelayarannya ke Timur, para pedagang-pelaut Nusantara di jaman bahari bisa mencapai Hawai dan selandia Baru yang berjarak lebih dari 2.000 mil.
Akan tetapi masa kejayaan pelaut Indonesia-pun tinggal kenangan manis. Banyak orang meyakini bahwa relief kapal di Candi Borobudur tersebut adalah gambaran perahu yang digunakan pedagang-pedagang Indonesia menyebrangi samudra hingga ke Afrika. Menuru J. Innes Miller (The Spice Trade of the Roman Empire), kapal-kapal orang Indonesia pada abad ke 8 dilengkapi dengan cadik seperti yang terpahat di dinding candi di Jawa Tengah itu.
Sumber:
http://konservasiborobudur.org/?p=9
Tradisi Korupsi Kepala Daerah
Sebanyak 145 kasus tindak pidana korupsi, sebagaimana tertuang dalam lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional tahun 2010, harus sudah dapat diselesaikan sampai akhir Desember 2010. Penanggung jawab penuntasan tindak pidana kasus korupsi tersebut adalah Kejaksaan Agung dan Kepolisian Negara RI. Hal itu diungkapkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, ketika ditanya pers, saat mendampingi Wakil Presiden Boediono dalam keterangan pers di Gedung II Istana Wapres, Jakarta, Jumat (19/2/2010).
Dari 145 kasus tersebut, tentu saja termasuk kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah baik itu bupati, walikota dan gubernur Kita tentu masih ingat kasus Bupati Kutai Kartanegara, Syaukari Hasan Rais menjadi terdakwa empat kasus korupsi sekaligus, yang diantaranya terkait pembangunan Bandara Udara Loa Kulu. Dugaan korupsi juga melibatkan Mantan bupati Kabupaten Semarang Bambang Guritno terkait penggelembungan nilai anggaran pengadaan buku ajar. Kasus korupsi Pengadaan mobil pemadam kebakaran yang menjerat banyak gubernur dan masih banyak lagi.
Ternyata sudah sejak masa kolonial kepala-kepala daerah (bupati) di nusantara juga banyak yang melakukan korupsi. Dalam masyarakat Jawa yang bersifat agraris, tanah dan tenaga adalah modal yang utama bagi pertanian. Tahun 1800-an struktur agraris mempunyai bentuk yang mencerminkan dari struktur kekuasaan yang feodal. Strukur feodal ini dipertahankan pada masa VOC dan juga masa kolonial. Dengan cara memberikan kekuasaan kepada bupati di bidang pemerintahan, diharapkan para bupati tersebut mampu meningkatkan hasil produksi yang diminta oleh VOC. Dengan sistem ini, semakin memperkuat struktur feodal yang telah ada dan akibatnya ialah eksploitasi rakyat semakin besar. Sistem ini juga memberikan kedudukan yang strategis bagi para bupati, ini tentu saja berakibat banyaknya tindakan penyelewengan yang termasuk dalam kategori korupsi yang dilakukan para bupati tersebut.
Penyebabnya adalah, para bupati ini memegang peranan yang rangkap. Pertama, mereka mempunyai kedudukan sebagai penguasa di daerahnya dan kedua mereka berperan sebagai perantara antara penguasa kolonial dan rakyat, suatu kedudukan yang menambah kekuasaan politik. Kecenderungan yang terjadi yaitu apabila suatu penguasa memiliki kekuasaan yang lebih, apalagi ditambah tanpa adanya pengawasan, dalam konteks bupati ini yaitu posisinya yang jauh dari kekuasaan pusat, maka memungkinkan melakukan tindakan penyelewengan.
Salah satu bentuknya yaitu, penggunaan kedudukannya untuk melakukan knevelarijen, suatu pemerasan terhadap rakyat. Pemerasan tersebut berupa hasil bumi serta tenaga pelayan untuk para bupati yang bertujuan untuk menambah kewibawaan, menunjukan gaya hidup yang mewah, antara lain dengan konsumsi yang berlebihan, pengikut yang banyak, rumah tangga yang besar dan lain sebagainya. Sebagai contoh, waktu Bupati Gresik berpergian ke Semarang. Jumlah pengikutnya adalah 700 orang. Bupati Pekalongan mempunyai abdi sejumlah 359 orang, Bupati Batang 152 orang dan Bupati Wiradesa 104 orang.
Dengan jumlah pengikut yang begitu besar maka otomatis biaya yang harus dikeluarkan juga berlipat. Belum lagi untuk mengurus rumah tangganya yang besar karena terdiri dari beberapa keluarga dan pengeluaran-pengeluarannya yang lain. Selain itu para bangsawan dan priyayi tingkat atas pada umumnya menganut gaya hidup mewah, yaitu gaya hidup yang mengutamakan status, seperti untuk kepentingan pesta dan rekreasi/hiburan. Sikap ini menyebabkan mereka mengeluarkan uang lebih besar daripada pendapatannya. Jika hanya mengandalkan dari pendapatan yang legal atau gaji sebagai bupati saja, rasanya jauh dari cukup. Oleh karena itu, para bupati harus pintar-pintar mencari pemasukan yang lain dalam arti illegal dengan cara menghalalkan segala cara.
Daftar Pustaka:
Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari emporium sampai Imperium (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999)
Label:
bupati,
kepala daerah,
korupsi
Sejarah Program KB dan Kondisinya Kini
Thomas Robert Malthus seorang pendeta dari Inggris pada tahun 1978 mengeluarkan sebuah buku dengan judul An Essay on the Principle of Population as it Affects the Future Improvement of Society. Inti pemikiran Malthus menyebutkan bahwa pertumbuhan penduduk cenderung melampui pertumbuhan persediaan makanan. Jumlah penduduk cenderung tumbuh secara "deret ukur" (misalnya, dalam lambang 1, 2, 4, 8, 16 dan seterusnya) sedangkan persediaan makanan cenderung tumbuh secara "deret hitung" (misalnya, dalam deret 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan seterusnya).
Permasalahan yang digambarkan oleh Malthus itulah yang saat ini menghantui negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Saat ini jumlah penduduk di Indonesia telah mencapai 216 juta jiwa dan menduduki urutan keempat terbanyak di dunia. Selain itu laju pertambahan penduduk Indonesia sebesar 1,49 persen per tahun, artinya di Indonesia setiap tahun jumlah penduduk bertambah 3-3,5 juta jiwa, dan ini hampir sama dengan jumlah penduduk Singapura.
Jika tidak dikontrol, maka Indonesia akan mengalami ledakan penduduk yang cukup besar beberapa tahun mendatang. Ledakan penduduk tersebut tentu saja akan menimbulkan ancaman seperti kemiskinan dan kelaparan. Sebenarnya pemerintah Indonesia telah membuat suatu kebijakan untuk menekan angka pertumbuhan penduduk yaitu dengan program Keluarga Berencana (KB). Program yang diluncurkan pada masa orde baru itu terbilang sukses, karena telah terbukti mengantarkan Soeharto ke New York untuk menerima penghargaan bidang kependudukan dari Perserikatan Bangsa-bangsa tahun 1988.
Tetapi setelah “lengsernya” Soeharto program KB seolah-olah ikut hilang. Tidak adalagi sosialisasi atau penyuluhan tentang KB secara berkala di daerah. Iklan masyarakat tentang KB pun semakin jarang kita jumpai. Dahulu masyarakat sangat akrab sekali dengan motto yang menyebutkan bahwa “dua anak saja cukup”. Motto tersebut juga disertai gambar keluarga bahagia yang menginspirasikan banyak keluarga di Indonesia. Padahal pada tahun 1987, Indonesia menjadi satu dari empat pusat pelatihan KB internasional yang direkomendasikan oleh UNFPA (Dana Kependudukan PBB). Indonesia ketika itu telah didatangi lebih dari 4.000 wakil dari 80 negara.
Upaya untuk menghidupkan program KB sebenarnya telah dilakukan masa pemerintahan Presiden Megawati. Melalaui Kepres RI No 103/2001 Tanggal 13 September 2001, pemerintah ketika itu mempertahankan keberadaan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai penunjang keberhasilan pembangunan daerah. Penegasan kelangsungan hidup BKKBN tertuang pada Pasal 114. Antara lain berbunyi: "Sebagian tugas pemerintahan yang dilaksanakan oleh BKKBN di daerah tetap dilaksanakan oleh pemerintah dan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dialihkan kepada pemerintah daerah".
Akan tetapi tampaknya peraturan tersebut belum sepenuhnya dijalankan oleh pemerintah daerah. KB salah satu program BKKBN tidak dijadikan program utama setiap pemerintah daerah yang kalah bersaing dengan program pemenuhan pemasukan daerah. Slogan-slogan tentang KB pun kalah semarak dengan slogan pilkada. Tidak adanya perhatian dari pemerintah itulah yang menjadi salah satu penyebab kesadaran masyarakat untuk mengikuti KB menjadi berkurang.
Selain karena kurangnya perhatian pemerintah, penyebab lain yang melatarbelakangi masyarakat enggan mengikuti KB yaitu adanya kondisi traumatis di beberapa masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari kesalahan pemerintah orde baru yang menjalankan KB dengan cara paksaan. Dalam rangka mensukseskan KB, pemerintah rezim orde baru menghalalkan segala cara yaitu dengan mengerahkan tentara untuk “menjemput” para ibu supaya mengikuti pelayanan KB. Itulah yang menyebabkan mereka kurang merespon kembali KB saat ini karena tidak terbentuk kesadaran individu sejak awal.
Penyebab berikutnya adalah masih berlakunya pameo yang mengatakan “banyak anak banyak rezeki”. Faktor kultural inilah yang sulit untuk dirubah khususnya di dalam lingkungan masyarakat agraris. Mereka berpendapat bahwa semakin banyak anak akan menambah tenaga untuk membantu melakukan pekerjaan seperti bercocok tanam, bertenak dan juga dapat melayani ketika mereka lanjut usia.
Pemerintah tampaknya harus diingingatkan kembali tentang ancaman baby booming. Oleh karena itu, sosialisasi tentang manfaat KB seharusnya menjadi pekerjaan utama pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, hal tersebut untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk mengikuti program KB. Yang harus dipahami oleh masyarakat bahwa KB bukanlah sekadar alat kotrasepsi, melainkan di dalamnya terkandung makna pembangunan manusia seutuhnya. Program KB juga memuat misi lain tidak sekadar membatasi angka kelahiran yakni meningkatkan kualitas kesehatan ibu, bayi, dan anak, termasuk kesejahteraan keluarga.
Langganan:
Postingan (Atom)