Rabu, 14 April 2010

Tradisi Korupsi Kepala Daerah


Sebanyak 145 kasus tindak pidana korupsi, sebagaimana tertuang dalam lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional tahun 2010, harus sudah dapat diselesaikan sampai akhir Desember 2010. Penanggung jawab penuntasan tindak pidana kasus korupsi tersebut adalah Kejaksaan Agung dan Kepolisian Negara RI. Hal itu diungkapkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, ketika ditanya pers, saat mendampingi Wakil Presiden Boediono dalam keterangan pers di Gedung II Istana Wapres, Jakarta, Jumat (19/2/2010).

Dari 145 kasus tersebut, tentu saja termasuk kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah baik itu bupati, walikota dan gubernur Kita tentu masih ingat kasus Bupati Kutai Kartanegara, Syaukari Hasan Rais menjadi terdakwa empat kasus korupsi sekaligus, yang diantaranya terkait pembangunan Bandara Udara Loa Kulu. Dugaan korupsi juga melibatkan Mantan bupati Kabupaten Semarang Bambang Guritno terkait penggelembungan nilai anggaran pengadaan buku ajar. Kasus korupsi Pengadaan mobil pemadam kebakaran yang menjerat banyak gubernur dan masih banyak lagi.

Ternyata sudah sejak masa kolonial kepala-kepala daerah (bupati) di nusantara juga banyak yang melakukan korupsi. Dalam masyarakat Jawa yang bersifat agraris, tanah dan tenaga adalah modal yang utama bagi pertanian. Tahun 1800-an struktur agraris mempunyai bentuk yang mencerminkan dari struktur kekuasaan yang feodal. Strukur feodal ini dipertahankan pada masa VOC dan juga masa kolonial. Dengan cara memberikan kekuasaan kepada bupati di bidang pemerintahan, diharapkan para bupati tersebut mampu meningkatkan hasil produksi yang diminta oleh VOC. Dengan sistem ini, semakin memperkuat struktur feodal yang telah ada dan akibatnya ialah eksploitasi rakyat semakin besar. Sistem ini juga memberikan kedudukan yang strategis bagi para bupati, ini tentu saja berakibat banyaknya tindakan penyelewengan yang termasuk dalam kategori korupsi yang dilakukan para bupati tersebut.

Penyebabnya adalah, para bupati ini memegang peranan yang rangkap. Pertama, mereka mempunyai kedudukan sebagai penguasa di daerahnya dan kedua mereka berperan sebagai perantara antara penguasa kolonial dan rakyat, suatu kedudukan yang menambah kekuasaan politik. Kecenderungan yang terjadi yaitu apabila suatu penguasa memiliki kekuasaan yang lebih, apalagi ditambah tanpa adanya pengawasan, dalam konteks bupati ini yaitu posisinya yang jauh dari kekuasaan pusat, maka memungkinkan melakukan tindakan penyelewengan.

Salah satu bentuknya yaitu, penggunaan kedudukannya untuk melakukan knevelarijen, suatu pemerasan terhadap rakyat. Pemerasan tersebut berupa hasil bumi serta tenaga pelayan untuk para bupati yang bertujuan untuk menambah kewibawaan, menunjukan gaya hidup yang mewah, antara lain dengan konsumsi yang berlebihan, pengikut yang banyak, rumah tangga yang besar dan lain sebagainya. Sebagai contoh, waktu Bupati Gresik berpergian ke Semarang. Jumlah pengikutnya adalah 700 orang. Bupati Pekalongan mempunyai abdi sejumlah 359 orang, Bupati Batang 152 orang dan Bupati Wiradesa 104 orang.

Dengan jumlah pengikut yang begitu besar maka otomatis biaya yang harus dikeluarkan juga berlipat. Belum lagi untuk mengurus rumah tangganya yang besar karena terdiri dari beberapa keluarga dan pengeluaran-pengeluarannya yang lain. Selain itu para bangsawan dan priyayi tingkat atas pada umumnya menganut gaya hidup mewah, yaitu gaya hidup yang mengutamakan status, seperti untuk kepentingan pesta dan rekreasi/hiburan. Sikap ini menyebabkan mereka mengeluarkan uang lebih besar daripada pendapatannya. Jika hanya mengandalkan dari pendapatan yang legal atau gaji sebagai bupati saja, rasanya jauh dari cukup. Oleh karena itu, para bupati harus pintar-pintar mencari pemasukan yang lain dalam arti illegal dengan cara menghalalkan segala cara.

Daftar Pustaka:
Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari emporium sampai Imperium (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999)

Tidak ada komentar: