Rabu, 14 April 2010
Sejarah Program KB dan Kondisinya Kini
Thomas Robert Malthus seorang pendeta dari Inggris pada tahun 1978 mengeluarkan sebuah buku dengan judul An Essay on the Principle of Population as it Affects the Future Improvement of Society. Inti pemikiran Malthus menyebutkan bahwa pertumbuhan penduduk cenderung melampui pertumbuhan persediaan makanan. Jumlah penduduk cenderung tumbuh secara "deret ukur" (misalnya, dalam lambang 1, 2, 4, 8, 16 dan seterusnya) sedangkan persediaan makanan cenderung tumbuh secara "deret hitung" (misalnya, dalam deret 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan seterusnya).
Permasalahan yang digambarkan oleh Malthus itulah yang saat ini menghantui negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Saat ini jumlah penduduk di Indonesia telah mencapai 216 juta jiwa dan menduduki urutan keempat terbanyak di dunia. Selain itu laju pertambahan penduduk Indonesia sebesar 1,49 persen per tahun, artinya di Indonesia setiap tahun jumlah penduduk bertambah 3-3,5 juta jiwa, dan ini hampir sama dengan jumlah penduduk Singapura.
Jika tidak dikontrol, maka Indonesia akan mengalami ledakan penduduk yang cukup besar beberapa tahun mendatang. Ledakan penduduk tersebut tentu saja akan menimbulkan ancaman seperti kemiskinan dan kelaparan. Sebenarnya pemerintah Indonesia telah membuat suatu kebijakan untuk menekan angka pertumbuhan penduduk yaitu dengan program Keluarga Berencana (KB). Program yang diluncurkan pada masa orde baru itu terbilang sukses, karena telah terbukti mengantarkan Soeharto ke New York untuk menerima penghargaan bidang kependudukan dari Perserikatan Bangsa-bangsa tahun 1988.
Tetapi setelah “lengsernya” Soeharto program KB seolah-olah ikut hilang. Tidak adalagi sosialisasi atau penyuluhan tentang KB secara berkala di daerah. Iklan masyarakat tentang KB pun semakin jarang kita jumpai. Dahulu masyarakat sangat akrab sekali dengan motto yang menyebutkan bahwa “dua anak saja cukup”. Motto tersebut juga disertai gambar keluarga bahagia yang menginspirasikan banyak keluarga di Indonesia. Padahal pada tahun 1987, Indonesia menjadi satu dari empat pusat pelatihan KB internasional yang direkomendasikan oleh UNFPA (Dana Kependudukan PBB). Indonesia ketika itu telah didatangi lebih dari 4.000 wakil dari 80 negara.
Upaya untuk menghidupkan program KB sebenarnya telah dilakukan masa pemerintahan Presiden Megawati. Melalaui Kepres RI No 103/2001 Tanggal 13 September 2001, pemerintah ketika itu mempertahankan keberadaan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai penunjang keberhasilan pembangunan daerah. Penegasan kelangsungan hidup BKKBN tertuang pada Pasal 114. Antara lain berbunyi: "Sebagian tugas pemerintahan yang dilaksanakan oleh BKKBN di daerah tetap dilaksanakan oleh pemerintah dan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dialihkan kepada pemerintah daerah".
Akan tetapi tampaknya peraturan tersebut belum sepenuhnya dijalankan oleh pemerintah daerah. KB salah satu program BKKBN tidak dijadikan program utama setiap pemerintah daerah yang kalah bersaing dengan program pemenuhan pemasukan daerah. Slogan-slogan tentang KB pun kalah semarak dengan slogan pilkada. Tidak adanya perhatian dari pemerintah itulah yang menjadi salah satu penyebab kesadaran masyarakat untuk mengikuti KB menjadi berkurang.
Selain karena kurangnya perhatian pemerintah, penyebab lain yang melatarbelakangi masyarakat enggan mengikuti KB yaitu adanya kondisi traumatis di beberapa masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari kesalahan pemerintah orde baru yang menjalankan KB dengan cara paksaan. Dalam rangka mensukseskan KB, pemerintah rezim orde baru menghalalkan segala cara yaitu dengan mengerahkan tentara untuk “menjemput” para ibu supaya mengikuti pelayanan KB. Itulah yang menyebabkan mereka kurang merespon kembali KB saat ini karena tidak terbentuk kesadaran individu sejak awal.
Penyebab berikutnya adalah masih berlakunya pameo yang mengatakan “banyak anak banyak rezeki”. Faktor kultural inilah yang sulit untuk dirubah khususnya di dalam lingkungan masyarakat agraris. Mereka berpendapat bahwa semakin banyak anak akan menambah tenaga untuk membantu melakukan pekerjaan seperti bercocok tanam, bertenak dan juga dapat melayani ketika mereka lanjut usia.
Pemerintah tampaknya harus diingingatkan kembali tentang ancaman baby booming. Oleh karena itu, sosialisasi tentang manfaat KB seharusnya menjadi pekerjaan utama pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, hal tersebut untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk mengikuti program KB. Yang harus dipahami oleh masyarakat bahwa KB bukanlah sekadar alat kotrasepsi, melainkan di dalamnya terkandung makna pembangunan manusia seutuhnya. Program KB juga memuat misi lain tidak sekadar membatasi angka kelahiran yakni meningkatkan kualitas kesehatan ibu, bayi, dan anak, termasuk kesejahteraan keluarga.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar