Senin, 12 April 2010
Kehidupan Sehari-hari Masa Pendudukan Jepang
Kekejaman, pemerasan, kelaparan, kemiskinan, kesengsaraan adalah kata-kata yang sering terlontar ketika kita berbicara mengenai sejarah Indonesia pada masa pendudukan Jepang. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah tetapi tidak juga sepenuhnya benar jika kita membaca artikel yang ditulis oleh Shigeru sato yang berjudul “Daily Life in Wartime Indonesia, 1939-1949”. Sato berusaha seobjektikf mungkin memaparkan bagaimana kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia di bawah pendudukan Jepang. Ia sendiri tidak menutupi ada keburukan selama pendudukan, tetapi selain itu ia juga memaparkan beberapa peristiwa yang mungkin tidak pernah kita bayangkan sebelumnya jika kita berbicara tentang pendudukan Jepang.
Tulisan ini menguraikan beberapa permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Bagian yang pertama yaitu berkaitan dengan pengemis, prostitusi dan pekerja. Masalah sosial diatas sebenarnya sudah ada sebelum masa perang. Salah satu penyebabnya adalah depresi ekonomi pada 1930an yang menyebabkan pengurangan pekerja dalam jumlah besar. Pada masa pendudukan Jepang awal 1942, jumlah dari para pencari kerja meningkat di kota-kota, kebanyakan dari mereka yang sebelumnya bekerja sebagai pegawai di perusahaan kolonial. Mulai tahun 1943, Jepang membentuk kampanye untuk ‘mobilisasi total’. Hal ini ditujukan tidak hanya untuk mengurangi masalah pengangguran, tetapi juga menciptakan tenaga kerja yang disebut romusha. Seringkali mereka dipekerjakan untuk membangun fasilitas militer Jepang.
Selanjutnya dibahas juga masalah anak-anak dan sekolah. Pemerintah pendudukan Jepang mereformasi sistem pendidikan dan kurikulum peninggalan Belanda. Tenaga guru pribumi juga mulai direkrut. Untuk mengatasi masalah kekurangan bangunan sekolah, Jepang memperkenalkan dua sistem waktu belajar (pertama pukul 8.30-13.30 dan kedua pukul 13.30-18.30). Mengenai bidang pendidikan, banyak sekali perubahan ke arah positif selama pendudukan Jepang, diantaranya penggunaan bahasa Indonesia, perluasan radio sebagai media pendidikan (walaupun juga digunakan sebagai propaganda), menciptakan sistem pendidikan yang berbasis moral dan fisik. Jepang juga mengenalkan pendidikan yang berkaitan dengan perkebunanan dan produksi kerajinan tangan.
Masalah berikutnya adalah tentang kekurangan bahan makanan dan pakaian. Masa pendudukan Jepang bisa dikatakan sebagai masa yang kelam, dimana banyak daerah di Indonesia kekurangan bahan makanan bahkan bahan pakaian sekalipun. Akan tetapi dalam artikel ini dijelaskan bahwa masalah tersebut bukan kesalahan dari pendudukan Jepang belaka. Kondisi di atas telah dibentuk oleh pemerintah kolonial ketika mereka melakukan politik ‘bumi hangus’ dengan cara membakar dan merusak fasilitas pertanian dengan tujuan supaya tidak dapat digunakan oleh Jepang. Tindakan tersebut jelas memperburuk keadaan.
Demikan pula dengan bahan pakaian, banyak dari penduduk Indonesia yang menggunakan karung goni sebagai pakaian mereka. Hal tersebut dikarenakan mayoritas bahan pakaian di Indonesia adalah berasal dari Impor yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda. Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah Jepang mulai membangun lahan tanaman kapas, diantaranya 180.000 ha di Jawa dan 140.000 ha di Sumatera. Sementara itu, untuk mengatasi kekurangan bahan makanan, Jepang mulai memobilisasi pekerja dalam jumlah besar untuk penanaman padi dan membangun irigasi dan sistem drainase (sedikitnya 62 tempat di Jawa dan Madura).
Hal yang menarik dalam artikel ini adalah berkaitan dengan rekreasi dan budaya. Meskipun berada di tengah kondisi serba kekurangan, pemerintah Jepang tetap memperhatikan sarana hiburan untuk masyarakat Indonesia, antara lain dengan mengadakan pertunjukan wayang dan teater bagi anak sekolah. Pada awal 1944 Jepang juga memiliki 15 tim di Jawa untuk mengadakan pertunjukan film bagi 126.000 romusha dalam dua minggu. Pertunjukan film menjadi hiburan tersendri bagi masyarakat Indonesia meskipun film yang ditampilkan berkaitan dengan propaganda pemerintah Jepang. Perkembangan kesenian ditunjukan juga dengan berkembangnya sandiwara.
Penderitaan Romusha dan Juguniafu memang menjadi sebuah fakta. Akan tetapi perbaikan sistem pendidikan, perkembangan bahasa Indonesia, pemakaian sistem Tonarigumi (Rukun Tetangga), hingga penyelenggaraan sandiwara dan film juga menjadi fakta yang menarik dan hal itu semua belum banyak terurai dalam penulisan sejarah Indonesia. Oleh karena itu, dengan membaca artikel ini, dapat membuka wawasan baru, bahwa sejarah ‘ordinary people’ sungguh menarik, terlebih dalam kondisi perang yang mungkin kita hanya dapat membayangkan sebuah kondisi ketegangan atau ketakutan belaka.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar